Locations of visitors to this page ASVAN DESWAN BUPATI TEBO 2011-2016: SEJARAH KABUPATEN TEBO

FHOTO

FHOTO
FHOTO DIRI DAN ISTRI

Jumat, 13 Agustus 2010

SEJARAH KABUPATEN TEBO

PEMIMPIN BARU TEBO 2011-2016 JADIKAN SEMANGAT DAN JIWA MUDA ASVAN DESWAN UNTUK MEMIMPIN TEBO DEMI MASA DEPAN YANG LEBIH CEMERLANG



SEJARAH KABUPATEN TEBO



Sejarah Kabupaten Tebo tidak terlepas dari sejarah Propinsi Jambi, karena Kabupaten Tebo termasuk wilayah administratif Propinsi Jambi. Namun demikian karena sejarah adalah gambaran masa lalu, maka jangkauannya tidak hanya terbatas pada wilayah administratif, tapi bisa juga melewati batas-batas tertentu. Karena garis administratif baru itu tidak berlaku sama pada sejarah kebudayaan, sebab seluruh kebudayaan masyarakat Kabupaten Tebo adalah bagian dari kebudayaan Melayu, mulai dari masa pra sejarah hingga masa Hindu Budha.

Masa Prasejarah

Tidak banyak yang dapat diketahui tentang masa pra sejarah di Kabupaten Tebo. Tapi setidaknya dengan adanya pendapat yang menyatakan, bahwa 10.000 - 5.000 tahun SM, Ras Deutro Maleires (Melayu Muda) yang berasal dari pedalaman Tiongkok Selatan, telah menyebar ke Nusantara, di antaranya ke Sumatera.

Ras ini kemudian bermukim di daerah-daerah pantai dan daratan rendah. Dan bila kemudian dihubungkan dengan hasil penelitian Prof. Sartono (1978), yang menyatakan adanya Teluk Tebo dan Teluk Tembesi yang menjorok ke arah pedalaman mengapit Bukit Dua Belas. Sedang di Teluk Tebo bermuara Sungai Batanghari dan Batang Tabir beserta anak-anak sungainya, tentunya dapat dipahami, bahwa dalam kawasan Kabupaten Tebo sekarang ini, dulunya telah bermukim Ras Deutro Maleires (Melayu Muda), sebagai awal masa pra sejarah.

Masa Hindu Budha

Dalam sejarah Dinasti Sung (960-1280) dinyatakan bahwa ada sebuah kerajaan bernama Ho-lo-tan yang telah mengadakan hubungan diplomatik dengan Cina dan berturut-turut telah mengirim utusannya ke Cina pada tahun-tahun 420, 433, 434, 436, 437, dan 452. Kerajaan Ho-lo-tan tersebut terletak di She-po atau Tehu-po. Sedangkan She-po atau Tehu-po tersebut menurut Prof. Sartono (1978) yang juga diyakini oleh sejarawan Drs. Fachruddin Saudagar, adalah Muara Tebo sekarang ini.

Sementara itu menurut sejarawan H. Djunaidi T Noor, sekitar abad III-IV terdapat dua "kerajaan" atau "Kekuasaan" masing-masing Ho-lo-tan di She-po atau Tehu-po dan Sanfo-Shih di Muara Tembesi. Kemudian kerajaan Ho-lo-tan bergeser ke arah Timur dan berdirilah Ko-ying. Sementara itu Prof. Slamet Mulyono menyatakan, bahwa di muara Sungai Tebesi ada sebuah Kerajaan bernama Kuntala. Yang juga telah mengirin utusan ke negeri Cina pada tahun-tahun 441, 455,502, 519, 560, dan 563. Namun bagaimana kelanjutan kerajaan-kerajaan ini tidak begitu jelas. Hanya saja baik Prof. Slamet Mulyono, maupun H. Djunaidi T Noor, sependapat bahwa kemudian berdirilah kerajaan Melayu (Mo-le-yeu). Kerajaan Melayu ini menurut Prof. Slamet Mulyono berdampingan dengan kerajaan Sriwijaya di Sungai Musi. Sedangkan H. Djunaidi T Noor mematok tahun 644 sebagai tahun lahirnya kerajaan Melayu di DAS Batang Hari.

Namun tahun 692, menurut catatan pendeta Cina I'Sing, ketika ia pulang dari Nalanda (Idia) kenegerinya menyatakan, bahwa kerajaan Melayu sudah menjadi daerah taklukan kerajaan Sriwijaya. Namun demikian Kerajaan Melayu tersebut masih tetap ada, tetapi tidak dibenarkan mengadakan hubungan diplomatik dengan luar negeri, terutama Cina. Selanjutnya kerajaan Melayu tersebut telah berubah dan berganti nama Swarnabhumi, yang dalam berita-berita Cina Swarnabhumi ini disebut San Fo Si, dengan ibukotanya Chanpi (Jambi).

Dari laporan-laporan pengelana Cina yang bernama Chou Ku Fei dan Cu Pan Ci, hidup dimasa dinasti Ming, menyatakan bahwa Swarnabhumi merupakan salah satu negara terkaya, yang memiliki pergudangan untuk menyimpan barang-barang berharga, setara dengan Tashi (Arab) dan Sha-po (Jawa).

Walau kerajaan Melayu yang telah berganti nama Swarnabhumi itu telah bangkit dan semakin maju, tapi kecemasannya akan diserang atau dicaplok oleh kerajaan-kerajaan lain, seperti Sriwijaya dan Singosari dari Jawa Timur, tetap merupakan ancaman. Dan kecemasan itu menjadi kenyataan, pada tahun 1275 Swarnabhumi diserang oleh kerajaan Singosari di masa pemerintahan Abhiseka Sri Kertanegara. Perintah penyerangan itu lebih dikenal dengan sebutan Pamalayu, yang artinya perang melawan Melayu. Di bawah pimpinan Panglima Perang yang bernama Mahisa Anabrang. Akan tetapi peperangan itu dapat ditiadakan, bahkan dapat diciptakan perdamaian. Bahkan Kerajaan Swarnabhumi tetap diakui sebagai kerajaan dengan rajanya Tribhuwana Mauliwarmadewa.

Setelah hampir 20 tahun tentara Singosari berada di kerajaan Swarnabhumi, barulah mereka kembali ke Singosari. Dan bersamaam dengan kepulangan tentara Singosari dibawah pimpinan Mahisa Anabrang, diboyong pula dua puteri raja Tribhuwana Mauliwarmadewa, yakni Dara Petak dan Dara Jingga. Kedua puteri Melayu (Swarnabhumi) ini diserahkan kepada raja Majapahit, yakni Kertarajasa Jayawardhana,yang sebelumnya telah menaklukkan Kerajaan Singosari. Dari Petak menjadi isteri Raden Wijaya, sedangkan Dara Jingga menjadi isteri Mahisa Anabrang.

Dari perkawinan Dara Jingga dengan Mahisa Anabrang lahirlah seorang putra yang diberi nama Adityawarman. Adityawarman dibesarkan dan mendapat pendidikan di lingkungan Kerajaan Majapahit. Setelah dewasa Adityawarman mendapat kepercayaan besar di Keraton Majapahit. Selain ikut sebagai panglima perang bersama Gajah Mada dalam memadamkan beberapa pemberontakan, di antaranya pemberontakan Sadeng, Adityawarma juga diangkat sebagai Wredha Tama, atau disebut juga Praudata Menteri, yang kira-kira sama artinya dengan Menteri Senior, dengan gelar Arya Dewaraja Pu Aditya. Selain itu Adityarwarman juga diutus ke negeri Cina pada tahun 1325 dan 1332 dalam rangka hubungan diplomatik antara Majapahit dan Cina. Dengan demikian Adityawarman menempati posisi penting dan terhormat dalam Kerajaan Majapahit.

Walau Adityawarman mendapat posisi penting dan terhormat di Kerajaan Majapahit, namun ia tidak mau menetap di Majapahit. Pada tahun 1343 ia kembali ke Darmasraya, ketempat kakeknya. Yang kemudian dinobatkan sebagai Raja Darmasraya pada tahun 1347 dengan gelar Udayatyawarman Pratapkramarajendra Mauliwarmadewa. Dengan gelar yang demikian Adityawarman memaklumkan dirinya sebagai Maharaja dan merupakan tonggak sejarah baru dalam Kerajaan dan Kesultanan Melayu Jambi, serta meletakkan Kabupaten Tebo pada posisi strategis dalam perkembangan sejarah Kerajaan maupun Kesultanan Jambi berikutnya.

KABUPATEN TEBO SEBELUM KEMERDEKAAN

1. Zaman Kerajaan

1.1. Aditiyawarman

Tahun 1347 Adityawarman dinobatkan sebagai Raja Swarnabhumi, berkedudukan di Darmasraya, di hulu sungai Batanghari, dekat Sungai Langsat, Kenagarian Siguntur. Daerah ini saat itu tidak termasuk wilayah Sumatera Barat, tetapi wilayah merdeka yang makmur dengan kegiatan ekonomi cukup tinggi dan merupakan suatu pusat perdagangan (lada dan emas).

Namun kemudian Adityarwaman yang dinobatkan sebagai raja Dharmaseraya itu memindahkan pusat kerajaannya ke daerah Tanah Datar Pagaruyung, Batu-sangkar, ke dalam daerah Minangkabau. Dengan demikian muncullah Kerajaan Minangkabau dan Adityawarman sebagai raja pertamanya.

Tentang mengapa Adityawarman memindahkan pusat kekuasaanya ke Pagar-ruyung, banyak tiori tentang itu. Mungkin terjadi coup d'tat di Istana Melayu/Darmasraya, mungkin di serang Majapahit, mungkin daerah baru itu lebih menguntungkan dipandang dari sudut ekonomi (bisa menyalurkan lada, baik kepesisir Timur maupun Barat) atau hanya ingin lebih safe terhadap ancaman Majapahit. Yang pasti ialah Kerajaan Melayu/Darmaseraya sendiri tidak lenyap dengan perpindahan Adityawarman tersebut. Sebab kira-kira seperempat abad sesudah itu, baik Melayu maupun Minangkabau sama-sama mengirim utusan ke negeri Tiongkok.

Penelusuran Adityawarman ini menjadi penting artinya, karena dalam sejarah kerajaan Melayu disebutkan, bahwa turunan Adityawarman, yang bernama Putri Selaro Pinang Masak, diindentifikasi turun dari Pagarayung setalah Adityawarman mangkat. Puteri Selaro Pinang Masak inilah yang nanyinyaq setelah menikah dengan Datuk Paduko Berhalo di Ujung Jabung, dianggap sebagai peletak dasar Melayu Kuno II (abad XII-XIV), sekaligus merupakan masa awal bertapaknya Kerajaan Melayu (Islam) di Jambi.

1.2. Puteri Selaro Pinang Masak

Dari silsilah Pernyatuan Raja-Raja Minangkabau, Adityawarmaqn yang lahir tahun 1294, menjadi raja bermula di Darmaseraya dan berakhir di Pagaruyung (1347-1375). Selanjutnya digantikan oleh anaknya Ananggawarman (1375 - 1417). Sedang Adityawarman mangkat tahun 1376.

Sejak mangkatnya Adityawarma, yang dimakamkan di Kubur Raja Lima Kum di Batusangkar, Sumatera Barat, kesinambungan Kerajaan Melayu Jambi, terutama dengan Swarnabhumi tidak terdengar lagi. Sejarah Kerajaan Melayu Jambi seakan-akan terhenti dalam kurun waktu, sejak mangkatnya Adityawar-man sampai munculnya Puteri Selaro Pinang Masak di Ujung Jabung tahun 1450.

Puteri Selaro Pinang Masak diperkirakan adalah anak cucu Ananggawarman (turunan raja-raja Pagaruyung) yang kemudian dirajakan oleh masyarakat Jambi dengan tempat persemayamannya di Ujung Jabung. Selain itu Puteri Selaro Pinang Masak juga menerima penyerahan kekuasaan dari Tun Talanai yang berkedudukan di Dendang, Muara Sabak.

Perajaan Puteri Selaro Pinang Masak sekitar tahun 1450. M. Tak lama kemudian Puteri Selaro Pinang Masak kawin dengan seorang bangsawan Turki yang terdampar di pulau Berhala, bernama Akhmad Barus II, yang kemudian mendapat gelar Datuk Paduku Berhalo. Dari perkawinan ini lahir empat orang anaknya, yakni Orang Kayo Pingai, Orang Kayo Kedataran, Orang Kayo Hitam, dan seorang perempuan bernama Orang Kayo Gemuk.

Tahun 1500 orang Kayo Hitam menjadi raja Melayu Jambi, Masa Rang Kayo Hitam inilah ia meng-Islam-kan Jambi

2. Zaman Kesultanan

Bahwa pada masa pemerintahan Adityawarman di Pagaruyung, agama Islam telah masuk ke Minangkabau diperkirakan demikian juga di Jambi. Agama Islam makin berkembang. Tidak saja di kalangan masyarakat tapi juga memasuki lingkungan kerajaan. Ini terbukti pada awal abad ke 17 nama-nama pemerintahan yang sebelumnya disebut Kerajaan, berubah menjadi Kesultanan.

Sultan pertama dari Kesultanan Jambi adalah Pangeran Kedah, gelar Sultan Keramat atau Sultan Abdul Kahar (1615-1643). Sedang Sultan terakhir, yang diakui rakyat Jambi, adalah Pangeran Ratu Ningrat, gelarSultan Thaha Syaifuddin bin Sultan Muhammad Fachruddin (1885-1904).

2.1. Struktur Pemerintahan

Struktur Pemerintahan maupun Kesultanan Jambi erat kaitannya dengan ke-tentuan Adat yang mengamanatkan :
Alam nan Berajo,
Pemerintahan Bermenteri,
Rantau nan Bajenang,
Negeri/Marga nan Bebatin (untuk daerah Tebo disebut Temenggung),
Kampung nan Betuo,
Luak/Dusun nan Berpenghulu,
Rumah nan Betengganai.

2.2. Wilayah Kesultanan Jambi

Wilayah Kesultanan Jambi, setidaknya sampai tahun 1906, saat wilayah Kesultanan Jambi dijadikan Keresidenan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, tidak terdapat bukti-bukti tertulis mengenai wilayah Kesultanan Jambi tersebut.

Sumber yang ada tentang wilayah Kesultanan Jambi berasal dari beberapa Tambo. Di antaranya Tambo perjalanan Datuk Perpatih Nan Sebatang dan Datuk Ketemengungan, dua tokoh penting dalam Kerajaan Pagaruyung di bawah pemerintahan Adityawarman (1347-1375). Dan dari Bandaro Lubuk Sati DSM, dari LKKM Sumatera Barat berdasarkan Adat Monografi Sumatera Tengah tahun 1950, serta daru Undang-undang Piagam Negeri Jambi, tulisan Umar Ngebi Sutho Dilago.

2.3. Wilayah Muara Tebo.

Untuk mengetahui wilayah Muara Tebo tidak terdapat bukti-bukti tertulis maupun tambo yang dapat dipahami sebagai petunjuk tentang kawasan wilayah Muara Tebo pada masa Kerajaan maupun Kesultanan Jambi. Tapi kalau ditelaah kesepakatan terbentuknya 12 Suku Bangsa dalam wilayah Kesultanan Jambi, di mana 4 di antara Suku Bangsa tersebut, yakni Suku Bangsa Petajen, Suku Bangsa Muara Sebo, Suku Bngsa VII Koto, dan Suku Bangsa IX Koto, bermukim di DAS Batanghari, mulai dari Teluk Rendah Hilir sampai ke Pucuk Jambi di hulunya.

Hal yang sama di masa Pemerintahan Kolonial Belanda, wilayah bermukimnya 4 Suku Bangsa ini ditetapkan sebagai wilayah Afdeeling MuaraTebo.

2.4. Sosial Budaya

Sosial Budaya mengandung pengertian yang merujuk kepada dua segi kehidupan bersama manusia, yaitu segi kemasyarakatan dan segi kebudayaan. Dengan pengertian masyarakat mempunyai nilai-nilai dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam hubungan itu, dalam masa Kesultanan Melayu Jambi, bahkan sampai saat ini, nilai-nilai dalam kehidupan masyarakat itu berperan sebagai aturan. Bahkan dapat dijadikan acuan bagi anggota masyarakat dalam rangka berbuat atau bersikap dan bertingkah laku.

Dalam hubungan yang demikian, masyarakat Jambi sejak dulu, setidaknya sejak masa Kerajaan Swarnabhumi, tidak mengenal perbedaan kelas dan golongan, semua manusia adalah sama hak dan kewajibannya. Tidak terdapat stratifikasi sosial dalam masyarakat Jambi, termasuk masyarakat Tebo sebagai bagian dari masyarakat Jambi. Kemudian dengan masuknya agama Islam, yang juga tidak membeda-bedakan manusia atas kelas-kelas dan golongan, maka semakin kentallah nilai-nilai keagamaan dalam kehidupan bermasyrakat saat itu. Dengan kondisi yang demikian, maka sosial budaya masa itu dapat dikatakan sebagai kondisi masyarakat yang mempunyai nilai-nilai keagamaan yang tinggi. Yang dalam pengejawantahannya, kehidupan bersama manusia, yang mulanya diwarnai oleh norma-norma tradisi maupun adat, langsung dipaku dengan kaedah-kaedah agama, seperti terungkap dalam seluko adat, yakni Adat bersendi Syarak, Syarak bersendi Kitabullah.

Sebagai contoh dari sosial budaya masa lalu itu, yang tetap dipertahankan sampai saat ini adalah dalam tata cara perkawinan menurut adat. Yang dalam pelaksanaannya disesuaikan dengan ketentuan yang masih berlaku saat ini, yakni diletakkan "di atas tungku bercabang tiga", yaitu :
1. Memenuhi ketentuan adat.
2. Memenuhi ketentuan syarak.
3. Memenuhi ketentuan undang-undang perkawinan.

Contoh lain dapat juga ditemukan dalam bidang pertanian dengan apa yang disebut pelarin atau beselang. Semua kegiatan itu melibatkan masyarakat sekitar dengan semangat gotong royong, yang telah mendarah mendaging sejak berabad-abad.

3. Zaman Penjajahan

3.1. Zaman Penjajahan Belanda

Belanda datang ke Jambi pada tahun 1615, yakni pada masa pemerintahan Sultan Abdul Kadar. Upaya Belanda untuk menguasai perdagangan di Jambi, terutama lada, yang sebelumnya dikuasai pedagang-pedagang Cina, baru berhasil setelah Belanda dengan licik dapat mengangkat Pangeran Cakra Negara menjadi raja dengan gelar Sultan Kiai Gede (1696-1725).

Pengangkatan Pangeran Depati menjadi Sultan Jambi mendapat tantangan dari saudaranya yang lain, yakni Raden Jaelat dan Pangeran Singapati. Akibatnya terjadi perpecahan dalam Kesultan Jambi. Kesultanan Jambi terpecah menjadi 2 Kesultanan, masing-masing :

1. Kesultanan Jambi Ulu dengan Sultannya Raden Jaelat bergelar Sri Maharaja Batu sedang adiknya diangkat menjadi Pangeran Ratu atau Wakil Raja, berkedudukan di Mangunjayo (Muara Tebo).
2. Kesultanan Jambi Ilir yang dipimpin oleh Pangeran Cakra Negara (Kiai Gede) yang didukung oleh Pemerintah Hindia Belanda dan berkedudukan di Tanah Pilih.

Masa pemerintahan Kesultanan Jambi Ulu berlangsung sekitar 30 tahun. Kemudian bersatu kembali dengan Kesultanan Jambi Ilir di bawah kekuasaan Sultan Suto Ingologo (1730-1770).

Pada tahun 1885 Sultan Thaha Syaifuddin dinobatkan sebagai Sultan Jambi yang ke 13 dengan pusat pemerintahannya di Tanah Pilih. Di masa pemerintahannya semua perjanjian yang dibuat oleh Sultan-sultan sebelumnya dengan Belanda dibatalkan. Dan menyatakan daerah Jambi sebagai daerah yang merdeka. Hal itu tentu saja tidak disenangi oleh Belanda. Belanda akhirnya mengultimatum Sultan Thaha untuk membuat perjanjian baru dalam jangka waktu 2 kali 24 jam. Tetapi Sultan Thaha menolaknya. Peperangan tidak lagi dapat dihindarkan. Tanah Pilih diserang oleh Belanda. Sultan Thaha bersama pengikut-pengikutnya yang heroik mengadakan perlawanan dengan gigihnya. Dan setelah Tanah Pilih diduduki Belanda, Sultan Thaha mengadakan perang gerilya secara berpindah-pindah, sampai akhirnya Sultan Thaha menyusun kekuatannya di Tanah Garo Muara Tebo. Dalam suatu peperangan yang sengit Sultan Thaha gugur di Tanah Garo (1904) dan dimakamkan di Muara Tebo. Sultan Thaha dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional dengan Keputusan Presiden RI Nomor 079/TK/1997 tanggal 24 Oktober 1977.

Dengan gugurnya Sultan Thaha, perlawanan rakyat Jambi terhadap pemerintahan Kolonial Belanda makin melemah, walau masih ada perlawanan di sana sini secara seporadis. Akhirnya pada tahun 1906 Kesultanan Jambi ditetapkan menjadi sebuah Keresidenan di bawah Pemerintah Hindia Belanda. Wilayah Kesultanan Jambi Ulu, yang sebelumnya dipimpin oleh Sultan Sri Maha-raja Batu oleh pemerintah Kolonial Belanda dijadikan sebuah wilayah yang disebut Adeeling. Dan mulai saat itu pelaksanaan pemerintahan ditangani oleh seorang Controleur berkebangsaan Belanda. Dibawahnya bertrurut-turut :
1. Demang
2. Asisten Demang
3. Pasirah
4. Kepala Desa/Kepala Dusun/Kepala Kampung.

3.2. Masa Pemerintahan Jepang

Belanda terjun ke dalam kancah Perang Dunia II, dengan mengumumkan perang kepada Jepang pada tanggal 7 Desember 1941. Tetapi dalam beberapa bulan kemudian, tepatnya tanggal 8 Maret 1942, Belanda menyerah kepada Jepang di Kalijati.

Muara Tebo diduduki Jepang tanggal 2 Maret 1942. Kemudian tentara Jepang bergerak ke Pulau Musang dipimpin Kolonel Namora dan sebagian lagi bergerak menuju Jambi dipimpin oleh Kapten Orita. Jambi dapat diduduki tanggal 4 Maret 1942.

Jepang benar-benar membawa malapetaka. Jepang memerintah dengan keras dan kejam. Rakyat yang melawan dipukul, bahkan ada yang dibunuh. Dengan alasan untuk melawan kepentingan musuh, Jepang mengambil padi rakyat.

Rakyat dipaksa menanam ubi kayu pengganti beras. Rakyat dipaksa untuk berbagai kegiatan, sehingga rakyat tidak mempunyai kesempatan lain untuk kepentingan diri sendiri. Akibatnya rakyat terpuruk dalam kemiskinan dan kelaparan.

Sistem Pemerintahannya tidak banyak berobah dari system di masa pemerintahan Kolonial Belanda, hanya istilahnya saja yang berubah. Selain itu Jepang merekrut pemuda-pemuda terpelajar untuk dijadikan Gyu Gun, Kay Gun, Hei Ho dan aparat pembantu militer lainnya. Di samping itu Jepang membentuk Kei Bodan (semacam pasukan pemadam kebakaran) dan Sei Ne Dan, barisan pemuda yang bertugas membantu rakyat dan pemerintah, jika terjadi peperangan atau kebakaran. Mereka ini mendapat latihan kemiliteran. Dalam perkembangan selanjutnya Kei Bodan dan Sei Ne Dan inilah yang terbanyak menjadi BPK (Badan Penjaga Keamanan). Sebuah Badan Keamanan yang perannya amat penting di awal-awal kemerdekaan

ZAMAN KEMERDEKAAN

1. Saat-saat menjelang kemerdekaan di Muara Tebo

Dengan rampungnya jalan darat dari Jawa ke Utara Sumatera di tahun 1922, kota Muara Tebo yang terletak di DAS Batang Hari itu semakin strategis. Karena di samping salah satu kota yang dilalui jalan darat ke berbagai kota di Sumatera dan Jawa, terdapat juga jalur angkuatan sungai dari kota Jambi ke Muara Tebo, bahkaqn sampai ke Muara Bungo.

Sementara itu, Belanda menganjurkan penanaman karet yang saat itu memang sangat dibutuhkan dunia, harganya pun tinggi. Rakyat berlomba-lomba menanam karet, sehingga kemakmuran rakyat pun makin tinggi. Dengan demikian masyarakat dapat menyekolahkan anak-anak mereka keluar daerah. Dan sejalan dengan itu, kesadaran berbangsa dan bernegara kembali meruyak. Terutama timbulnya perjuangan terorganisasi di Jawa, seperti kebangkitan Budi Utomo dan berlangsungnya Sumpah Pemuda di tahun 1928. Kelak akan terlihat, anak-anak yang mendapat pendidikan di luar daerah ini, akan memegang peranan penting pada masa revolusi pisik (1945-1949).

Selama pendudukan Jepang, dan terutama saat menjelang kekalahan Jepang dalam Perang Asia Timur Raya, kaum pergerakan di Muara Tebo tidak tinggal diam. Jatuhnya bom atom di Nagasaki dan Hiroshima pada tanggal 6 dan 9 Agustus 1945, kemudian Jepang menyerah kalah kepada Sekutu tanggal 14 Agustus 1945, cepat diketahui di Muara Tebo. Yang pertama kali menhetahuinya adalah dr. Syahrial Rahman.

2. Pekik Kemerdekaan berkumandang di Muara Tebo

Tanggal 19 Agustus 1945 bendera merah putih dinaikkan di kota Muara Bungo, pada hari berikutnya bendera merah putih dikibarkan di Muara Tebo. Upacara pengibaran bendera merah putih dipimpin oleh dr. Syahrial Rahman di depan kantor Gun Co Muara Tebo. Penarikan bendera merah putih tidak diikuti dengan lagu Indonesia Raya, tapi dengan pekikan perjuangan "merdeka" tiga kali.

Tanggal 26 Agustus 1945, ditengah semaraknya semangat kemerdekaan di kalangan rakyat, datanglah ke Muara Tebo, Mr.T.M. Hasan, anggota PPKI yang ditugaskan Presiden Sukarno untuk menyusun pemerintahan dalam Propinsi Sumatera. Dan berdasarkan Ketetapaqn Gubernur Propinsi Sumatera, Mr.T.M. Hasan Nomor I-X Tahun 1945 tanggal 3 Oktober 1945, dr. Syagaf Yahya diangkat sebagai Residen Jambi. Tapi kemudian digantikan oleh Raden Inu Kertapati, pada bulan Desember 1945.

Setelah pemerintahan Jambi terbentuk, maka pemerintahan bawahan, yakni kewedanaan, Kecamatan dan pemerintahan Marga mulai ditata. Begitu pula di Muara Tebo.

3. Perang Kemerdekaan

Pada Perang Kemerdekaan I, wilayah-wilayah Dusun Tuo, Pulau Musang, Teluk Kuali dan Pulau Temiang diserang Belanda melalui udara. Dengan demikian Perang Kemerdekaan I (Agresi Belanda I) tidak begitu membawa petaka. Tetapi sebaliknya dengan dilancarkannya Agresi Belanda I itu, kekuatan pertahanan dalam daerah Tebo makin di-perkuat. Sebagai persiapan dalam menghadapi perang yang sewaktu-waktu dapat pecah, sehingga dapat diantisipasi sebelumnya. Untuk itu, oleh Komandan Garuda Putih dibentuklah Kompi Merdeka yang dipipmpim oleh Letnan Satu Sayuti Makalam. Kompi ini bersifat mobil, ditempatkan di Muara Tebo, yang terdiri dari 4 Seksi, masing-masing dipimpin oleh Letnan Muda H. Ibrahim, Letnan Muda M. Syukur, Letnan Muda A. Azis La Rose, dan Letnan Muda Bahman Thaib.

Perang Kemerdekaan II (Agresi Belanda II) ditandai dengan diserangnya kota Jambi oleh Belanda pada tanggal 28 Desember 1948 dengan pesawat terbang yang diperkirakan mencapai 14 pesawat. Malamnya kota Jambi dibumi hanguskan. Dan pada hari-hari berikutnya banyak anggota TNI, Polisi dan anggota Pemerintahan Sipil berkumpul di Muara Tebo.

4. Pertempuran-pertempuran

Untuk mengantisipasi tentara Belanda yang diperkirakan akan terus mendesak ke huluan, maka diadakanlah pengadangan tentara Belanda di daerah Tebo Ilir. Penghadangan tersebut dilakukan oleh Pasukan-pasukan Sayang Terbuang di bawah Pimpinan Letnan Muda A. Azis La Rose, Pasukan B17 di bawah Pimpinan Sersan Muda Kadet Parluhutan Lubis, dan Pasukan Beruang Merah/P2 di bawah Pimpinan Sersan Muda Kadet Albert Silalahi.

Ketiga pasukan yang dikordinir di Muara Tebo itu, beroperasi di sepanjang Sungai Batang Hari, yang lebih terkenal dengan sebutan "Batang Hari Area". Wilayah operasinya meliputi Pematang Gadung, Sungai Puar, Mengupeh, Sungai Keruh, Sengketi Kecil, dan Sungai Rengas

5. Peranan Muara Tebo dalam Perang Kemerdekaan

Seperti wilayah-wilayah lainnya dalam Kresidenan Jambi, wilayah Muara Tebo cukup berperan dalam menghadapi serangan-serangan Belanda pada masa-masa Perang Kemerdekaan, termasuk dalam penyusunan Pemerintahan Keresidenan Jambi.

Seperti diketahui Raden Inu Kertapati mengundurkan diri sebagai Residen Jambi dan menyerahkan kekuasaannya kepada Bupati Jambi Ilir M. Kamil. Selanjutnya Bupati M. Kamil beserta rombongannya melanjutkan perjalanannya ke Muara Tebo. Di Muara Tebo inilah berkumpul tokoh-tokoh pemerintahan, pergerakan dan Militer Keresidenan Jambi. Tokoh-tokoh tersebut pada tanggal 11 Januari 1949, mengadakan rapat untuk menyusun kembali Pemerintahan Keresidenan Jambi. Hasil rapat memutuskan :

Bachsan - Kepala Daerah dengan pangkat Residen, merangkap Ketua Dewan Pertahanan Daerah.
A. Bastari - Kepala Kepolisian Keresidenan Jambi, merangkap Sekretaris Dewan Pertahanan Daerah.
Abunjani - Komandan Sub Teritorial Jambi, merangkap Ketua II Dewan Pertahanan Daerah.
R.H. Saman - Bupati Kabupaten Muara Tebo, yang meliputi Ke- wedanaan Muara Tebo, Muara Bungo, Tungkal dan Sabak.
M. Kamil - Bupati Kabupaten Bangko, meliputi Kewedanaan Bangko, Sarolangun dan Muara Tembesi.

Susunan Pemerintahan Keresidenan Jambi tersebut yang dilengkapi dengan badan-badan lainnya, disahkan dengan Ketetapan PDRI No. 3/UP/PDRI tanggal 20 Januari 1949, dan ditanda tangani oleh Syafruddin Prawiranegara.

Ketetapam PDR No. 3/UP/PDRI tersebut, sebagai hasil pertemuan tokoh-tokoh pemerintahan, pergerakan dan TNI di Muara Tebo itu mempunyai arti penting, bukan saja bagi kelancaran pemerintahan dan perlawanan terhadap Belanda, tetapi juga berdampak pada keinginan Belanda yang ingin membentuk Pemerintah Negara Federal, dengan tujuan berdirinya Negara Serikat, di mana Jambi direncanakan menjadi Negara Boneka. Padahal sebelumnya Belanda telah membentuk apa yang dinamakan Dewan Jambi Sementara (DDS) sebagai cikal bakal Negara Federal dalam Pemerintahan Negara Serikat. Tetapi dengan Kete-tapan PDRI No. 3/UP/PDRI tanggal 20 Januari 1949 itulah yang mengakibatkan rencana Belanda membentuk Negara Boneka, langsung mati sebelum lahir

Secara kronologis sejarah Kabupaten Tebo sekarang ini, terutama sejak berakhirnya masa Pemerintahan Kesultanan Melayu Jambi (1906) telah melalui pentahapan sebagai berikut :

- 3,5 abad yang lalu merupakan daerah jajahan Belanda sebagai Pusat Pemerintahan Onder Afdeeling.
- 3,5 Tahun merupakan daerah jajahan Jepang sebagai Pusat Pemerintahan GUN dati tahun 1942 – 1945.
- 3,5 Tahun sebagai Pusat Ibukota Jambi Ulu dari tahun 1948 – 1951.
- 2,5 Tahun sebagai Ibukota Merangin dari tahun 1957 - 1959
- 20 Tahun sebagai Ibukota Kewedanan dari tahun 1945 - 1965
- 35 Tahun dibawah Panji Kabupaten Bungo Tebo dari tahun 1965 - 1999
- Pada tanggal 12 Oktober 1999 resmi menjadi Kabupaten Tebo dengan 4 Kecamatan dan 2 Kecamatan Pembantu yang terdiri dari 5 (lima) Kelurahan dan 82 Desa.

LAHIR DAN BERKEMBANGNYA KABUPATEN TEBO

1. Latar Belakang Pemekaran Kabupaten Bungo Tebo.

Era Reformasi memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah untuk lebih meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan guna menjamin perkembangan kesinambungan pembangunan.

Jiwa dan semangat reformasi tersebut melanda masyarakat Indonesia, hingga akhirnya berdampak juga pada pemerintahaqn Propinsi Jambi, baik pada lembaga eksekutif maupun legislatifnya. Dalam hubungan itu Pemerintah Propinsi Jambi melalui Surat Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jambi Nomor 135/2465/Pem Tahun 1999 memprogramkan Rencana Pemekaran Wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II. Dengan terbitnya Surat Gubernur Jambi tersebut ditindaklanjuti oleh Bupati Bungo Tebo, Drs.H. Sofian Ali, dengan menerbitkan Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Bungo Tebo Nomor 669 Tahun 1999 tentang Tim Pelaksanaan Penerapan Pembentukan Daerah Tingkat II Kabupaten Bungo Tebo. Hal yang sama didukung pula oleh DPRD Kabupaten Daerah Tingkat II Bungo Tebo Nomor 170/271/1999 tanggal 21 Mei 1999.

Sementara itu sejumlah tokoh-tokoh masyarakat, pemuka Agama, pemuda, mahasiswa, dan Akademisi dalam wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Bungo Tebo ikut mendukung pelaksanaan pemekaran Kabupaten Daerah Tingkat II Bungo Tebo tersebut, termasuk tokoh-tokoh masyarakat, pemuka agama, pemuda, mahasiswa dan akademisi yang berdomisili di Tebo.

2. Pemerintahan Kabupaten Tebo

2.1. Masa Bhakti Carateker (12 Oktober 1999-24 Mei 2001)

Tanggal 12 Oktober 1999 Drs.H.A. Madjid Mu'az, MM dilantik sebagai Pejabat Bupati Kabupaten Tebo oleh Menteri Dalam Negeri Ad Interim di Jakarta.

Tanggal 18 Oktober 1999 dilaksanakan acara pengantar tugas Bupati Tebo oleh Gubernur Jambi yang diwakili Wakil Gubernur Drs.H. Hasyip Kalimudian Syam, MM, yang diselengggarakan di Kantor Camat Muara Tebo.

Dari awal sebagai pejabat Bupati Tebo Drs.H.A. Madjid Mu'az, MM lansung dituntut bekerja keras secara cepat, professional dan efisien, sekaligus mempelajari dan memahami kondisi dan situasi dari Kabupaten baru yang dipimpinnya. Padahal sebagai Kabupaten Baru, baik staf maupun perkantorannya masih sangat terbatas. Kantor menyewa rumah-rumah penduduk, mobilitas sangat minim.

2.2. Masa Bupati denitif (21 Mei 2001-25 Mei 2006)

Sebelumnya pada tanggal 16 Desember 2000 berdasarkan Surat Gubernur Jambi atas nama Presiden RI Nomor 483 Tahun 2000 sebanyak 30 orang anggota DPRD Kabupaten Tebo diambil sumpah/.jajinya yang dipando oleh Ketua Pengadilan Negeri Muara Bungo, Sjofian Muchammad, SH. Dan pada tanggal 9 Mei 2001 dalam Sidang Pleno DPRD Kabupaten Tebo yang baru terbentuk itu Drs.H.A. Madjid Mu'az, MM dan Drs. H. Helmi Abdullah terpilih sebagai Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Tebo. Dan pada tanggal 25 Mei 2001, Bupati dan Wakil Bupati terpilih Kabupaten Tebo untuk masa jabatan 2001-2006 tersebut dilantik oleh oleh Gubernur Jambi Drs.H. Zulkifli Nurdin, MBA atas nama Presiden.

3. PILKADA Kabupaten Tebo Masa Bakti 2006-2011

Pada tanggal 25 April 2006 masyarakat Kabupaten Tebo melaksanakan agenda politik nasional untuk memilih Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Tebo. Ini merupakan babakan baru dunia demokrasi di Propinsi Jambi, khususnya di Kabu-paten Tebo. Dimana pemilihan Bupati dan Wakil Bupati dilaksanakan secara langsung, tanpa melalui pemilihan oleh wakil rakyat di DPRD, melainkan bagi masyarakat yang telah memenuhi persyaratan dapat menyalurkan aspirasinya dalam meramaikan pesta demokrasi tersebut. Masyarakat menyambut pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Tebo tersebut dengan antusias. Buktinya prosentase suara sah mencapai 83,45%.

Dalam Pilkada tanggal 25 April tersebut Drs.H.A. Madjid Mu'az, MM yang berpasangan dengan Sukandar, S.Kom, memperoleh suara 47,50%, mengalahkan tiga pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati lainnya. Ini berarti Drs.H.A. Madjid Mu'az, MM kembali dipercaya memimpin Kabupaten Tebo untuk periode 2006-2011. Hal ini adalah merupakan prestasi yang luar biasa bagi Drs.H.A. Madjid Mu'az, MM di mana apa yang telah diusahakan dan dikerjakannya dalam membangun Kabupaten Tebo selama ini, mendapat kepercayaan dari masyarakat. Hal ini terbukti dari jumlah suara yang diperolehnya jauh melampaui perolehan suara dari tiga kandidat lainnya.

Pada tanggal 12 Juni 2006 pasangan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Tebo terpilih, Drs.H.A. Madjid Mu'az, MM dan Sukandar, S. Kom, dilantik oleh Gubernur Jambi Drs. H. Zulkifli Nurdin, MBA atas nama Menteri Dalam Negeri di Aula Kantor DPRD Kabupaten Tebo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TINGGAL KAN PESAN ANDA DISINI ATAS MAJU NYA ASVAN DESWAN SEBAGAI BUPATI TEBO 2011-2016